Politik Hukum Pengaturan Rahasia Bank Di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan sistem pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi “milik” masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.

Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting, lebih-lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan system pembayaran dari negara yang bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi di tahun 1929-1933 ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.

Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian dari sistem keuangan dan system pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak.

Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah [1]:

  • Integritas pengurus
  • Pengetahuan dan Kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial maupun pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan
  • Kesehatan bank yang bersangkutan
  • Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.

 

Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut “dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah identitas nasabah tersebut kepada pihak lain”. Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh “rahasia bank”.

Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat disimpangi.

Hal itulah yang telah melandasi ditetapkannya ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 sebagai tindak pidana bagi pelanggarannya. Pasal-pasal yang mengatur rahasia bank dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ialah Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52 dan 53.

Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 10 Nopember 1998. Dalam kerangka perbaikan dan pengukuhan perekonomian nasional, walaupun Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (untuk selanjutnya disingkat ‘UUP/1998′) hanya merupakan revisi, bukan mengganti keseluruhan pasal-pasal Undang-undang Perbankan lama, namun dilihat dari pokok-pokok ketentuannya, perubahannya mencakup penyehatan secara menyeluruh sistem Perbankan, tidak hanya penyehatan bank secara individual. Oleh karenanya issue-issue yang ditanggapinya pun cukup luas, yang dapat mempengaruhi secara mendasar arah perkembangan perbankan nasional.

Di antara issue-issue yang berusaha ditanggapi dalam ketentuan UUP/1998 tersebut adalah kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan perbankan, lingkungan hidup, aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan penyelenggaraan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, peningkatan fungsi social control terhadap institusi perbankan, perlindungan nasabah, pembukaan akses pasar dan perlakuan non diskriminatif terhadap pihak asing, liberalisasi serta issue-issue lain sebagai akibat adanya perubahan beberapa ketentuan dalam perundang-undangan baru bidang ekonomi dan bisnis. Responsi terhadap issue-issue tersebut, telah dikonkritkan dalam UUP/1998 dengan pembentukan pengertian, jenis kegiatan usaha, syarat dan prosedur, serta institusi-institusi baru sebagai penunjang kegiatan usaha perbankan. Sebagai contoh, diantaranya adalah pengertian baru rahasia bank, kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pengalihan tugas dan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank Indonesia, serta pembentukan lembaga jaminan simpanan, lembaga penyehatan perbankan.

B. Konsep Rahasia Bank

Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan. Hal ini nyata terlihat ketika Court of Appeal Inggris secara bulat memutuskan pendiriannya dalam kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England1 tahun 1924, suatu putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case law yang menyangkut ketentuan rahasia bank di Inggris dan kemudian diacu oleh pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang menganut common law system. Bahkan 60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam perkara Foster v. The Bank of London  tahun 1862, juri telah berpendapat bahwa terdapat kewajiban bagi bank untuk tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan kepada pihak lain. Namun pada waktu itu pendirian tersebut belum memperoleh afirmasi dar putusan-putusan pengadilan berikutnya.

Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank, adalah semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara yang dikenal mempunyai ketentuan rahasia bank yang dahulunya paling ketat di dunia, adalah juga semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah bank secara individual. Pada waktu itu ketentuan rahasia bank bersifat mutlak; artinya tidak dapat dikecualikan karena alasan apapun juga. Ketentuan rahasia bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss sebagai negara yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam abad ke-17, ribuan kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena mereka dikejar-kejar atau dilakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka sehubungan dengan agama yang mereka anut. Diantara mereka itu kemudian ada yang menjadi bankir, dan menginginkan  agar supaya kerahasiaan dari nasabah-nasabah mereka untuk urusan-urusan keuangannya di negara asalnya dirahasiakan. Alasan kedua adalah sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi berkuasa di Jerman di tahun 1930-an dan 1940-an [2].

Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan di bidang money laundering, dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu. Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat dikesampingkan. Contoh yang konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan kepentingan negara untuk menghitung memungut: 1) pajak nasabah yang bersangkutan, 2) penindakan korupsi, dan 3) pemberantasan money laundering.

Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum, dikehendaki agar kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan negara yang dimaksud adalah pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan. Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam upaya bank itu mengerahkan tabungan masyarakat. Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah antara lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan kewajiban rahasia bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum menghendaki demikian.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban rahasia bank yang harus dipegang teguh oleh bank adalah bukan semata-mata bagi: (1) kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga (2) bagi bank yang bersangkutan dan (3) bagi kepentingan masyarakat umum sendiri.

 

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas dapat penuliskan rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah pengaturan rahasia Bank menurut hukum di Indonesia ?
  2. Bagaimana penerapan hukum Indonesia Berkaitan dengan Ketentuan Rahasia Bank dalam prakteknya di Indonesia  ?


BAB II

PENGATURAN RAHASIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA

 

A . Pengaturan Rahasia Bank di Indonesia

Sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan, salah satu perubahan yang terdapat dalam UUP/1998, adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Dilihat dari paragraf ke-8 Penjelasan Umum, perubahan ketentuan mengenai rahasia bank dihubungkan dengan upaya peningkatan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan. Inti perubahan rahasia bank menurut UUP/1998, bila dibandingkan dengan ketentuan yang lama adalah perlunya peninjauan ulang atas sifat ketentuan rahasia bank yang selama ini sangat kaku dan tertutup. Jadi walaupun rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, namun UUP/1998 menetapkan untuk tidak merahasiakan seluruh aspek yang ditatausahakan oleh bank.

Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 (UUP/1992), perubahan ketentuan rahasia bank meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan instansi yang berwenang memberi perintah atau izin pengecualian, dan ketentuan pidana berkenaan dengan rahasia bank. Pembahasan berikut ini mencoba menjelaskan satu persatu dari perubahan-perubahan tersebut.

Pertama, UUP/1992 memberi pengertian atas rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Berkenaan dengan pengertian tersebut, UUP/1992 menjelaskan bahwa yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Dengan demikian pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1992 sangat luas, baik menyangkut obyek maupun kedudukan nasabahnya. Hal ini berbeda dengan pengertian yang dianut UUP/1998, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. Pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya memang tidak ada penjelasannya secara rinci, namun pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1998 secara tegas membatasi kedudukan nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni hanya Nasabah Penyimpan. Dalam penjelasan Pasal 40 ditegaskan, bilamana nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.

Kedua, sebagaimana menjadi ketetapan dalam UUP/1992, UUP/1998 juga memberi pengecualian kepada pihak-pihak serta untuk kepentingan tertentu mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan mengenai nasabah bank. Bahkan UUP/1998 memperluas pihak dan kepentingan tersebut, sehingga secara keseluruhan adalah sebagai berikut:

  • bagi pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;
  • bagi pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN) untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN;
  • bagi polisi, jaksa atau hakim untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
  • bagi pengadilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya;
  • bagi bank lain dalam rangka tukar menukar informasi antar bank;
  • bagi pihak lain yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atas permintaan, persetujuan atau kuasa Nasabah Penyimpan;
  • bagi ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia.

Disamping tujuh pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak lain yang dapat dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Akuntan Publik, dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Namun karena adanya kondisi khusus pengaturan bagi pengecualian terhadap pihak-pihak tersebut, terutama berkenaan dengan BPK dan Bapepam, maka akan dibahas tersendiri dalam bagian ‘Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam’.

Ketiga, bagi pengecualian sebagaimana disebutkan di atas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu bilamana pihak-pihak ingin mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan. UUP/1992 menetapkan bahwa perintah atau izin tertulis bagi pengecualian ada pada Menteri Keuangan, sedangkan UUP/1998 yang mempunyai semangat kemandirian Bank Indonesia, telah menetapkan bahwa perintah tertulis atau izin pengecualian tersebut ada pada Pimpinan Bank Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 21 jo butir 20 UUP/1998, yang dimaksud Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan Bank Sentral Republik Indonesia. Sedangkan dalam perkara perdata yang terjadi antara bank dengan nasabahnya, serta dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, tidak ada perbedaan antara UUP/1992 dengan UUP/1998, dimana keduanya mengizinkan direksi bank untuk menginformasikan keterangan mengenai nasabahnya.

Keempat, disamping memperberat ancaman pidana perbuatan yang telah dikenal dalam UUP/1992, yakni perbuatan yang dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan tanpa membawa perintah tertulis atau izin; dan perbuatan yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, UUP/1998 menambah satu jenis perbuatan pidana baru yang tidak dikenal dalam UUP/1992. Yakni perbuatan pidana yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A. Dengan adanya ketentuan ini berarti bank dan pihak terafiliasi bukan saja bertanggung jawab untuk tidak mengungkapkan rahasia bank kepada pihak-pihak yang tidak berwenang, melainkan juga bertanggung jawab untuk memberikan keterangan mengenai rahasia bank bilamana telah dipenuhi syarat-syarat dan prosedur pengecualian sebagaimana diatur UUP/1998.

Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam

Selain bagi tujuh pihak dan kepentingan sebagaimana telah diterangkan di atas, UUP/1998 juga menyiratkan pengecualian rahasia bank bagi Badan Pemeriksa Keuangan berkenaan dengan keuangan negara yang dikelola oleh suatu bank, Akuntan Publik dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap bank untuk dan atas nama Bank Indonesia, serta kepentingan di bidang pasar modal bagi bank yang melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal. Selain bagi Akuntan Publik, pengaturan pengecualian terhadap ketentuan mengenai rahasia bank tersebut hanya terdapat dalam bagian Penjelasan UUP/1998, sedangkan bunyi pasalnya sendiri tidak menyinggung sama sekali mengenai pengecualian tersebut. Pengaturan tersebut dapat kita lihat dalam Penjelasan Pasal 31 Paragraf kedua dan Penjelasan Pasal 40 Paragraf ketiga dari UUP/1998, dan oleh karena itu dapat menjadi permasalahan, apakah pengecualian bagi kedua pihak dan kepentingan tersebut, yang timbul dari memori penjelasan berlaku dan mengikat?

Hal ini penting untuk didiskusikan berkenaan dengan adanya pendapat bahwa Memori Penjelasan suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya. Pendapat seperti ini dianut oleh Sutan Remy Sjahdeini, Pakar Hukum Perbankan, yang juga menambahkan bahwa hal-hal yang dikemukakan di dalam Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum, karena suatu undang-undang tetap berlaku dan mengikat sekalipun seandainya dikeluarkan tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori penjelasan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya Undang-undang (yang dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).

Ketidaktegasan mengenai pengecualian bagi BPK dan Bapepam ini, dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kesempurnaan UUP/1998, karena ternyata UUP/1998 tidak berusaha sepenuhnya memasukkan kemungkinan yang diberikan perundang-undangan yang ada berkaitan dengan pengecualian pengungkapan rahasia bank. Padahal Pasal 101 Undang-undang Pasar Modal memberi kemungkinan bahwa dalam rangka pelaksanaan penyidikan, Bapepam dengan permohonan izin dari Menteri Keuangan dapat memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka pada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Sedangkan menurut Pasal 4 Undang-undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sehubungan dengan penunaian tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang.

Ketidaktegasan tersebut juga dapat dilihat dari tidak adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam, sebagaimana diwajibkan bagi kepentingan perpajakan, BUPLN/PUPN, peradilan perkara pidana (Pasal 42A) dan pihak yang ditunjuk Nasabah Penyimpan (Pasal 44A). Sehingga atas kesengajaan tidak memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam tidak ada sanksi yang dapat diancamkan. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 47A UUP/1998, yang menetapkan bahwa kesengajaan tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud Pasal 42A dan Pasal 44A merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara serta denda.

Status Kerahasiaan Nasabah Debitur

Permasalahan lain yang perlu dibahas lebih lanjut berkenaan dengan ketentuan rahasia bank menurut UUP/1998 adalah bagaimana status kerahasian keterangan mengenai Nasabah Debitur. Apakah secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa karena Pasal 40 UUP/1998 hanya mewajibkan Bank dan Pihak Terafiliasi menjaga kerahasiaan Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, dan ditegaskan dalam Penjelasannya bahwa keterangan mengenai Nasabah selain dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan bukan keterangan yang wajib dirahasiakan, menyebabkan keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun?

Bila diperhatikan pengaturan mengenai rahasia bank di berbagai negara, maka terdapat penggolongan pengaturan sebagai berikut:

  • Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban publik, sebagaimana banyak dianut oleh negara yang menggunakan sistem hukum kodifikasi.
  • Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan perdata, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual, sebagaimana banyak dianut oleh sebagian besar negara yang menggunakan sistem Common Law.
  • Yang memasukkan sebagian pengaturan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, namun di sebagian lain sebagai ketentuan perdata (kombinasi/campuran), sebagaimana dianut oleh negara Amerika Serikat.

Menurut penggolongan tersebut, UUP/1992 dapat digolongkan yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan Sutan Remy Sjahdeini sebagai berikut:


“… ketentuan atau kewajiban rahasia bank…, di Indonesia ditentukan sebagai ketentuan pidana oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.”

Dibandingkan dengan ketentuan UUP/1992, dalam UUP/1998 sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) jo. Pasal 47 UUP/1998, hanya memasukkan kewajiban menjaga keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Sedangkan keterangan mengenai Nasabah Debitur, secara letterlijk dikecualikan sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) paragraf ke-2 UUP/1998 yang berbunyi sebagai berikut:

“Keterangan mengenai Nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan Bank.”

Ketentuan ini berbeda dengan obyek rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUP/1992 yang tidak membedakan apakah nasabah tersebut sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Debitur. Segala keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah merupakan rahasia bank.

Meskipun keterangan mengenai Nasabah Debitur tidak diatur secara tegas dalam UUP/1998 sebagai rahasia bank, sebagaimana ketentuan rahasia bank menurut UUP/1992, namun perubahan ini hanya merupakan satu bentuk apa yang dikenal dalam ilmu hukum pidana sebagai depenalisasi. Depenalisasi di sini mempunyai pengertian bahwa perbuatan yang semula diancam dengan pidana, ancaman pidananya dihilangkan, akan tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Artinya bahwa pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur yang dalam UUP/1992 ditentukan sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, dengan UUP/1998 ini dihilangkan ancaman pidananya, akan tetapi tidak menghilangkan sama sekali kemungkinan untuk dituntut secara perdata maupun administratif.

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidak masuknya lagi keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank dan Pihak Terafiliasi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 40 UUP/1998, bukan menghilangkan sifat wajib dirahasiakannya keterangan tersebut, namun hanya mengalihkan kewajiban tersebut yang tadinya merupakan kewajiban yang bersifat pidana (termasuk ketentuan yang bersifat publik) menjadi kewajiban yang bersifat perdata.

Alasan penulis mengenai hal tersebut adalah bahwa kewajiban merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan kewajiban yang bersifat perdata, serta pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dapat dituntut secara perdata adalah:

Pertama, hubungan antara bank dengan nasabah debitur merupakan fiduciary relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan). Sejalan dengan hal tersebut dapat dikutip pernyataan M. Sholehuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Tindak Pidana Perbankan’ sebagai berikut:

“Keharusan bagi bank untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank dengan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation).”

Khususnya di bidang kredit, dapat ditambahkan pula di sini pendapat Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa:

“Bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan mau membayar kembali kredit tersebut, maka juga hubungan antara bank dan nasabah debitur, yaitu hubungan perjanjian kredit, bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga hubungan kepercayaan (fiduciary relation).”

Kedua, hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah Debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara Bank dengan Nasabah Debitur. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 18 UUP/1998 sebagai berikut:

“Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.”

Berdasarkan prinsip hubungan kerahasiaan, hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur. Dalam hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

“persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Ketiga, adanya kemungkinan Bank digugat melakukan perbuatan melanggar hukum oleh Nasabah Debitur, bilamana dengan pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dipandang oleh Nasabah Debitur merugikan dirinya. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang secara tegas mengatur:

“tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Di samping dapat digugat melakukan perbuatan melanggar hukum, Bank juga dimungkinkan diancam pidana dengan menggunakan delik lain, yakni pengungkapan keterangan mengenai nasabah Debitur dapat dipersangkakan sebagai kejahatan rahasia jabatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 KUHP, yang lengkapnya berbunyi:

  1. Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
  2. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Dari dasar-dasar dan alasan sebagaimana dibahas di muka, maka keterangan mengenai Nasabah Debitur juga merupakan keterangan yang harus dirahasiakan, dimana kewajibannya timbul dari hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur. Dengan demikian karena sifat kerahasiaan keterangan mengenai Nasabah Debitur lahir dari perjanjian (implied term, Pasal 1339 KUHPerdata), pengungkapannya haruslah memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu pula yang disepakati antara Nasabah Debitur dan bank.

Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan adalah tidak adanya ketentuan UUP/1998 yang secara tegas mewajibkan Bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun. Dengan demikian keterangan mengenai Nasabah Debitur bukanlah keterangan yang terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun, sehingga terdapat syarat dan kondisi yang membatasi bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur dan Pinjamannya. Persoalannya kini adalah syarat dan kondisi apa yang membolehkan pengungkapan tersebut?

Untuk membahas pertanyaan tersebut, karena sejalan dengan pemikiran sistem hukum Common Law, di mana kewajiban merahasiakan timbul sebagai implied term dari perjanjian (kewajiban yang bersifat perdata), maka tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan penggunaan kerangka berpikir sistem hukum Common Law dalam hal pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur ini.

Dalam yurisprudensi Inggris, terdapat satu kasus klasik yang dipakai sebagai standar kualifikasi bagi pengungkapan keterangan mengenai nasabah, bahkan yurisprudensi ini pun pada akhirnya menjadi standar pula bagi hampir semua Negara Persemakmuran (Commonwealth), yakni putusan perkara Tournier v. National Provincial and Union Bank of England, 1924 (yang dikenal juga dengan sebutan Tournier’s Case). Dari putusan Tournier’s Case dapat diklasifikasikan bahwa Bank berhak untuk mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi salah satu dari empat syarat/kondisi sebagai berikut:

  1. Where disclosure is under compulsion by law.
  2. Where there is a duty to the public to disclose.
  3. Where the interest of the bank require disclosure.
  4. Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer.

Penjelasan dari keempat syarat/kondisi tersebut, beserta contohnya adalah:

Pertama, bilamana pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, misalnya dalam hal Bank dimintai bukti dalam pemeriksaan pengadilan, atau untuk kepentingan penyidikan. Dalam hal penyidikan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bank dapat mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada penyidik sebagai berikut:

  1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, yakni di antaranya: (i) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 44 (1) UU No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan); (ii)n Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan (Pasal 112 (1) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan); (iii) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Bapepam untuk melakukan penyidikan tidak pidana di bidang Pasar Modal (Pasal 101 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal).

Kedua, bilamana bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat/publik, misalnya dalam hal dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Bank mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur tertentu dan pinjamannya untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai adanya dugaan terjadinya penyelewengan kredit oleh Bank terhadap Nasabah Debitur tertentu.

Ketiga, bilamana pengungkapan dikehendaki demi kepentingan Bank (Where the interest of the bank require disclosure), misalnya Bank demi kepentingan sendiri dapat mengungkapkan kepada pengadilan dalam pemeriksaan sengketa antara bank dengan seorang penjamin (guarantor) Nasabah Debitur.

Keempat, bilamana nasabah memberikan persetujuannya (Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer), misalnya dalam hal Nasabah memberikan referensi-referensi bank kepada pihak lain, atau Nasabah memberikan kewenangan kepada bank untuk mengungkapkan urusan-urusannya dalam rangka membantu akuntannya.

B. Penerapan ketentuan Rahasia Bank  dalam prakteknya  di Indonesia.

  1. Ketentuan Rahasia Bank untuk Mantan Nasabah Bank.

 

Sudah menjadi kelaziman di dalam praktik perbankan atau praktik bisnis, bahwa seorang nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti adalah lazim seorang nasaba mempunyai beberapa bank. Sehubungan dengan kelaziman itu, maka timbul pertanyaan:  Apakah bank masih terikat terhadap kewajiban rahasia bank setelah nasabahnya tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Apakah bank masih terikat terhadap kewajiban rahasia bank setelah nasabahnya tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Hal ini ternyata tidak diatur atau ditentukan oleh Undang-Undang baik oleh Undang-Undang No. 7 tahun 1992 maupun oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Mengingat tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai kewajiban rahasia bank, seyogianya apabila Undang-Undang Perbankan Indonesia menentukan bahwa kewajiban rahasia bank tetap diberlakukan sekalipun nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan (telah menjadi mantan nasabah). Sekalipun Undang-Undang Perbankan Indonesia hendaknya menetapkan agar bank merahasiakan identitas dan keadaan keuangan mantan nasabah bank, namun perlu diberikan pembatasan jangka waktu, misalnya selama jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat tidak menjadi nasabah lagi.

Namun demikian menurut hemat penulis dari sisi etika bisnis Bank tetap kerkewajiban untuk menjaga kerahasiaan data para mantan nasabahnya walaupun Bank tidak lagi terikat untuk tetap menjaga kerahasiaan tersebut. Hanya saja Bank menjadi lebih leluasa untuk memberikan data nasabah tersebut apabila ada permintaan dari aparat penegak hukum atau pemeriksa dari instansi pemerintah tanpa merasa takut terkena sanksi hukum.

 

  1. Ketentuan Rahasia bank bagi Debitur Bank

 

Pertanyaan sehubungan dengan ketentuan rahasia bank ialah: Apakah yang harus dirahasiakan itu hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah penyimpan dana saja? Apakah juga menyangkut keadaan keuangan nasabah debitur? Dengan kata lain, apakah lingkup rahasia bank hanya menyangkut pasiva (liabilities) bank berupa dana nasabah bank ataukah juga meliputi aktiva (assets) bank berupa kredit bank kepada nasabah. Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank yang lain selain jasa penyimpanan dana dan jasa pemberian kredit? Apakah keadaan keuangan dari nasabah yang hanya menggunakan jasa perbankan dari bank tersebut selain berupa jasa simpanan dan kredit, seperti pengiriman uang (transfer dana), pembukaan L/C, penerimaan L/C, harus pula dirahasiakan? Sehubungan dengan lingkup rahasia bank, juga merupakan legal issue mengenai apakah identitas nasabah merupakan hal yang harus dirahasiakan juga?

Ketika meletus peristiwa kredit macet dari Golden Key Group atau Eddy Tansil yang diberikan oleh PT. Bank Pembangunan Indonesia (Persero) atau Bapindo, maka telah timbul berbagai pendapat di kalangan masyarakat mengenai: Apakah rahasia bank itu juga berlaku bagi keadaan keuangan dari nasabah debitur, lebih-lebih lagi nasabah debitur yang telah macet kreditnya? Yang paling keras pendapatnya adalah Kwik Kian Gie yang berpendapat bahwa rahasia bank hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dana, tidak berlaku bagi nasabah debitur. Pada waktu itu, rumusan rahasia bank yang berlaku adalah rumusan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 (sebelum diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998).

Dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang mengemukakan “Kerahasiaan itu diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank” dapat disimpulkan bahwa lingkup rahasia bank memang menyangkut simpanan nasabah. Namun bila membaca kalimat selanjutnya dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) itu yang berbunyi “masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya kepada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah (termasuk kredit yang diperolehnya, penulis) tidak akan disalahgunakan”, dapat disimpulkan bahwa bukan hanya keadaan keuangan dari nasabah yang menyimpan dana pada bank saja (pasiva bank), tetapi juga nasabah lain yang menggunakan jasa bank selain jasa penyimpanan dana. Dengan demikian rahasia bank juga berlaku bagi nasabah debitur atau kredit bank (aktiva) maupun nasabah yang menggunakan jasa bank lain, seperti misalnya kiriman uang, pembukaan L/C, jaminan bank, dan lain-lain.

Bahwa ketentuan rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 berlaku bukan saja menyangkut keadaan keuangan dari nasabah penyimpan dana (pasiva bank), tetapi berlaku pula bagi kredit yang diperoleh oleh nasabah debitur dari bank tersebut (aktiva bank), adalah dapat pula disimpulkan dari penjelasan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan informasi antara bank mengenai kredit.

Penafsiran tentang pengertian rahasia bank seperti yang penulis kemukakan di atas adalah juga pendirian Bank Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam Surat Direksi Bank Indonesia No. 2/377/UPPB/PbB tanggal 11 September 1969 kepada semua bank-bank di Indonesia perihal “Penafsiran tentang Pengertian Rahasia Bank”. Surat Bank Indonesia tersebut sekalipun berkaitan dengan penafsiran tentang pengertian rahasia bank menurut Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, namun masih dianggap tetap berlaku berkaitan dengan ketentuan rahasia bank menurut Undang- Undang No. 7 Tahun 1992.

Masyarakat merasa sangat tidak puas atas rumusan rahasia bank sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Masyarakat berpendapat bahwa rumusan itu terlalu jauh, karena sampai mencakup kredit bank yang diberikan kepada nasabah. Masyarakat berpendapat bahwa seyogianya lingkup rahasia bank hanya meliputi dana simpanan nasabah saja (pasiva bank) dan keterangan yang menyangkut nasabah penyimpannya. Lingkup rahasia bank yang sampai meliputi kredit yang diterima oleh nasabah (aktiva bank), dirasakan oleh masyarakat sebagai memperkosa atau memasung hak masyarakat untuk mengetahui kredit-kredit macet perbankan yang sangat mempengaruhi kesehatan perbankan. Sehubungan dengan itu, maka rumusan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) Undang- Undang No. 7 Tahun 1992 telah diubah dengan rumusan yang baru sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) yang baru dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Menurut rumusan Pasal 40 ayat (1) tersebut, lingkup rahasia bank ditegaskan hanya terbatas kepada simpanan nasabah (pasiva bank) saja. Berkaitan dengan lingkup yang wajib dirahasiakan berkenaan dengan berlakunya ketentuan rahasia bank itu ialah apakah indentititas nasabah bank harus pula dirahasiakan oleh bank?. Dari rumusan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah menyangkut bukan saja simpanan nasabah tetapi juga (identitas) Nasabah Penyimpan yang memiliki simpanan itu. Bahkan dalam rumusan Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”. Nampaknya dalam pikiran pembuat Undang-Undang, justru identitas Nasabah Penyimpannya lebih penting daripada Simpanannya. Atau mungkin pula dalam pikiran pembuat Undang-Undang, “Nasabah Penyimpan” sengaja disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”, untuk menekankan bahwa merahasiakan identitas Nasabah Penyimpannya sama pentingnya dengan merahasiakan Simpanannya. Dibeberapa negara memang lingkup dari rahasia bank tidak ditentukan hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah saja, tetapi meliputi pula identitas nasabah yang bersangkutan.

 

  1. Ketentuan Rahasia Bank Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan

 

Berdasarkan pasal 2 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (“UU No. 15/2004”), pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 15/ 2004.

Selanjutnya mengenai kewenangan BPK untuk memeriksa data di perbankan, didapat dari pasal 9 ayat 1 huruf b UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”), yaitu bahwa BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;

Sebagaimana diketahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah external auditor dari Bank-bank BUMN. Apabila BPK di dalam rangka melakukan audit pada Bank-bank BUMN bermaksud untuk melakukan pemeriksaan yang menyangkut keadaan keuangan nasabah apakah Bank BUMN yang bersangkutan harus mengijinkannya tanpa dianggap melanggar rahasia bank? Menurut hemat penulis, BPK tidak berwenang karena BPK bukan merupakan pihak yang terhadapnya ketentuan rahasia bank dikecualikan. Hal tersebut mengingat alasan-alasan sebagai berikut:

  • Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2006, bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, pada dasarnya BPK memang berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, namun sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang.
  • Pemeriksaan oleh BPK terhadap suatu Bank BUMN tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank dilarang untuk memberikan keterangan tentang Nasabah Penyimpan dan Simpanannya
  • Oleh karena pelaksanaan audit oleh BPK terhadap suatu Bank BUMN tidak boleh bertentangan dengan undang- undang, sebagaimana hal itu ditentukan oleh Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK Keuangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2006, dengan demikian tidak boleh pula bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, maka BPK tidak berwenang untuk memeriksa berkas nasabah atau untuk meminta bank menyampaikan informasi mengenai simpanan para nasabahnya secara individual.

 

  1. Ketentuan Rahasia Bank Dalam Hal Terdapat Kepentingan Umum

 

Sehubungan dengan pengecualian-pengecualian yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 bersifat limitatif, maka timbul masalah apabila pada suatu kasus tertentu terdapat kepentingan umum yang sangat tinggi prioritasnya membutuhkan pengungkapan data yang menurut ketentuan rahasia bank harus dirahasiakan oleh bank yang bersangkutan, maka apakah ketentuan rahasia bank itu tetap harus dipegang teguh?

Mengenai hal ini, ketentuan rahasia bank di Inggris menentukan bahwa bank boleh mengungkapkan data tersebut apabila hal itu dilakukan oleh bank dalam rangka bank menjalankan keajibannya kepada masyakarat.8 Penulis sependapat dengan para pakar hukum yang berpendapat bahwa “kepentingan umum” (public interest) merupakan “alasan pembenar” bagi pelanggaran ketentuan rahasia bank oleh bank. penulis sependapat bahwa “alasan demi kepentingan umum” menghilangkan sifat melawan hukum dari tindak pidana rahasia bank tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaannya ialah: Apakah bank boleh menentukan sendiri bahwa pada suatu kasus tertentu terdapat unsur “kepentingan umum”?. Menurut hemat penulis, seperti juga banyak pakar hukum berpendapat yang sama, bahwa ada atau tidak adanya “kepentingan umum” tidak dapat ditentukan sendiri oleh bank, tetapi harus ditentukan oleh pengadilan secara kasuistis.

Bagaimana caranya untuk mendapatkan pendapat pengadilan itu? (1) Apakah dengan cara meminta fatwa kepada Ketua Pengadilan Negeri atau kepada Ketua Mahkamah Agung? (2) Apabila prosedur ini yang harus ditempuh, apa dasar hukumnya untuk menempuh prosedur yang demikian itu? (3) Sampai sejauh mana kekuatan hukum dari fatwa itu untuk dipatuhi oleh para hakim yang lain? Apakah menunggu sampai pejabat bank yang bersangkutan dituntut secara pidana oleh kejaksaan? Bila demikian halnya, maka bank akan selalu menghadapi resiko bahwa pengadilan tidak sependapat dengan pejabat bank yang bersangkutan bahwa terdapat unsur “kepentingan umum” dalam kasus tersebut. Apabila ternyata kemudian pengadilan tidak sependapat bahwa dalam kasus yang sedang diperiksa itu terdapat unsure “kepentingan umum”, maka pejabat bank tersebut terpaksa harus dijatuhi pidana karena telah melakukan pelanggaran rahasia bank.

Menurut hemat penulis, seyogianya apabila Undang-Undang menetapkan unsur atau unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi agar dapat ditentukan bahwa dalam suatu kasus terdapat “kepentingan umum”. Mengingat demikian banyak Undang-Undang menyebut: “kepentingan umum” sebagai alasan pembenar, misalnya dalam hal kejaksaan menggugat mewakili kepentingan umum atau demi kepentingan umum, atau kejaksaan mengajukan permohonan pailit terhadap seorang debitur dengan alasan demi kepentingan umum, maka sebaiknya unsur atau unsur-unsur sebagaimana yang penulis maksudkan itu dapat ditentukan tidak hanya terbatas berlaku dalam hal rahasia bank saja, tetapi juga dapat diberlakukan dalam hal-hal yang lain.

 

  1. Ketentuan Rahasia Bank Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi

 

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, menentukan bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi, dalam memperoleh keterangan dari bank mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya yang telah menjadi tersangka harus memenuhi ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Perbankan.

Artinya, sekalipun kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi dapat memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya dari bank, namun dalam memperoleh keterangan itu harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Dengan kata lain, dalam perkara tindak pidana korupsi tidak diatur secara khusus bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk dapat memperoleh keterangan dari bank mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, yang menyimpang dari ketentuan bagi penyidik, penuntut umum, dah hakim yang memeriksa perkara-perkara tindak pidana selain tindak pidana korupsi. Namun tidak demikian halnya bagi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam memeriksa tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang antara lain meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. Namun, Pasal 12 maupun pasal-pasal lain dari Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tersebut tidak memberikan ketentuan atau keterangan apakah KPK untuk meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa (dalam perkara tindak pidana korupsi, penulis) harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Karena tidak ada keterangan apapun, maka di kalangan perbankan telah simpang siur penafsirannya yaitu apakah dalam hal KPK memperoleh keterangan tersebut KPK tidak perlu terlebih dahulu meminta ijin dari Pimpinan Bank Indonesia. Untuk menghilangkan keragu-raguan di kalangan perbankan mengenai perlu atau tidaknya KPK terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dengan suratnya No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank telah meminta pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan rahasia bank kepada Ketua Mahkamah Agung. Surat tersebut telah memperoleh jawaban dari Ketua Mahkamah Agung dengan suratnya No. KMA/694/RHS/XII/2004 tanggal 3 Desember 2004. Menurut Ketua Mahkamah Agung dalam suratnya itu bahwa:

“ketentuan undang-undang yang baru (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK, penulis) “mengesampingkan undang-undang yang lebih lama, maka perosedur ijin membuka rahasia bank sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 42 Undang-Undang Perbankan tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”.

 

Berkenaan dengan pendapat Ketua Mahkamah Agung tersebut di atas, maka bagi KPK untuk dapat memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah pada bank yang nasabahnya telah menjadi tersangka, tidak perlu memperoleh ijin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia.

 

BAB II

PENUTUP

  1. Sebagai perwujudan gagasan untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap institusi perbankan, pembentuk undang-undang telah melakukan pembaruan dalam UUP/1998 terhadap ketentuan mengenai rahasia bank. Pembaruan tersebut meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan wewenang pemberian perintah dan izin pengecualian, serta memperberat ancaman pidana dan penambahan delik rahasia bank.
  2. Khusus dalam pengaturan pengecualian ketentuan mengenai rahasia bank menurut UUP/1998, bagi BPK dan Bapepam, dikarenakan terdapat kondisi khusus, maka status pengecualiannya menjadi tidak jelas. Kondisi khusus tersebut adalah bahwa secara redaksional pengecualian bagi BPK tidak disebutkan dalam pasal-pasal UUP/1998, hanya disebutkan dalam bagian penjelasan. Disamping itu tidak ada ketentuan dalam UUP/1998 yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan kepada BPK , sedangkan di sisi lain terdapat peraturan perundangan yang memberikan wewenang bagi kedua pihak tersebut untuk mendapatkan keterangan mengenai nasabah bank.
  3. Berkenaan dengan keterangan mengenai Nasabah Debitur, walaupun UUP/1998 tidak memasukkannya sebagai rahasia bank, namun pihak bank maupun pihak terafiliasi tetap mempunyai kewajiban untuk menjaga dan merahasiakannya. Kewajiban tersebut timbul dari sifat kontraktual antara bank dan nasabah debitur. Oleh karena itu menurut pendapat penulis, setiap pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur pun tidak dapat dilakukan tanpa memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu.
  4. Ketentuan tentang Rahasia Bank selalu berkembang dari waktu kewaktu mengikuti perkembangan bisnis industri perbankan dan arah pergerakan politik yang semakin berkembang dengan dinamis.


DAFTAR PUSTAKA

 

Dennis Campbell, BA, JD, LL.M (general Editor), Internasional Bank Secrecy, Sweet & maxwell, London, 1992.

H. As. Mahmoeddin, Analisis Kejahatan perbankan, Rafflesia, Jakarta, 1997.

M. Sholehuddin, SH, MH, Tindak Pidana Perbankan, rajawali Press, Jakarta, 1997.

Peri Umar Farouk, Pengaturan Rahasia Bank, Jurnal ‘Bank & Manajemen’, Jakarta, 1999

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, IBI, Jakarta, 1993.

Sutan Remy Sjahdeini, Rahasia Bank dan Berbagai Masalah disekitarnya, bahan diskusi mengenai legal isues seputar Pengaturan Rahasia Bank di Bank Indonesia, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta. Senin 13 Juni 2005.

Yunus Husein, Rahasia Bank dan Penegakan Hukum, Pusataka Juanda Tiga Lima, Jakarta, 2010.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

 


[1] Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., dalam makalah mengenai legal isues seputar Pengaturan Rahasia Bank  bertempat di Bank Indonesia, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta. Senin 13 Juni 2005

 

[2] Dennis Campbell (General Ed.). International Bank Secrecy. London: Sweet & Maxwell, 1992, hal. 663

About bagaskara

seorang Compliance Officer sebuah Bank yang sedang belajar Legal Banking
This entry was posted in Perbankan. Bookmark the permalink.

Leave a comment