Hukum Kontrak


  1. PENGERTIAN KONTRAK

Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian (agreement). Atas dasar itu, Subekti[1] mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Janji sendiri merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu.[2] Orang terikat pada janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan kepada pihak lain dalam perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus dipenuhi.[3]

Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.[4] Berlainan dengan itu, di dalam berbagai definisi kontrak di dalam literatur hukum kontrak common law, kontrak itu berisi serangkaian janji, tetapi yang dimaksud dengan janji itu secara tegas dinyatakan adalah janji yang memiliki akibat hukum dan apabila dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut ke pengadilan.[5]

Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau persetujuan. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan.”

Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan tersebut di bawah ini. 3

Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih.” Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.[6]

Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan hukum dapat mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena perbuatan manusia dan sebagai akibatnya timbul suatu perikatan, yakni adanya kewajiban untuk melakukan transaksi tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang dirugikan perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari perjanjian.[7]perjanjian kawin dalam hukum keluarga atau perkawinan pun berdasarkan rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian.[8]

J. Satrio juga membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hubungan perkawinan saja sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.[9]

Untuk  memperbaiki kelemahan definisi di atas, Pasal 6.213.I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (BW Baru) mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih di mana keduanya saling mengikatkan dirinya.[10]

Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh hukum yang berwenang-dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain(interdependent). Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga untuk pihak lain.[11]

Kontrak merupakan golongan dari ‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.[12]

Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.[13]

Untuk menyesuaikan rumusan kalimat bahwa suatu kesepakatan haruslah interdependent. Satu pihak akan setuju karena atau jika pihak lain setuju pula. Tanpa adanya ketergantungan (interdependent) maka tidak ada kesepakatan (consent); contohnya ketika dalam rapat pemilihan badan direksi suatu perusahaan, pemilihan ini dipilih dengan persetujuan secara umum, hal ini bukan merupakan kontrak karena tidak ada mutual interdependence.[14]

Niat para pihak harus bertujuan untuk menciptakan adanya akibat hukum. Terdapat banyak perjanjian yang menimbulkan kewajiban sosial atau kewajiban moral, tetapi tidak mempunyai akibat hukum. Contohnya, janji untuk pergi ke bioskop tidak menimbulkan akibat hukum, walaupun ada beberapa yang dapat menimbulkan akibat hukum dalam situasi khusus tertentu. Maksud para pihak untuk mengadakan hubungan hukum sangatlah menentukan dalam kasus ini.[15]

Pada akhirnya, akibat hukum harus dihasilkan untuk kepentingan satu pihak dan pihak lainnya, atau, untuk kepentingan kedua belah pihak. Dalam Peraturan Umum Hukum Kontrak Belanda menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak hanya dapat untuk mengadakan perikatan terhadap satu sama lain.[16]

Di dalam sistem common law ada pembedaan antara contract dan agreement. Semua kontrak adalah agreement, tetapi tidak semua agreements adalah kontrak.[17] American Restatement of Contract (second) mendefinisikan kontrak sebagai ‘a promise or set of promises for the breach of which the law give a remedy or the performance of which the law in some way recognized a duty.’[18]

Salah satu kelemahan dari pengertian kontrak yang disebutkan dalam American Restatement adalah tidak adanya elemen persetujuan (bargain) dalam kontrak. Tidak adanya indikasi yang dibuat dalam definisi tersebut di atas adalah merupakan suatu ciri khas perjanjian dua belah pihak (two-sided affair), sesuatu yang sedang dijanjikan atau dilaksanakan dalam satu sisi merupakan pengganti untuk sesuatu yang sedang dijanjikan atau dilaksanakan dalam sisi yang lain. Kemudian, berdasarkan pengertian di atas, bahwa kontrak secara sederhana dapat menjadi ‘suatu janji’. Hal ini berarti untuk melihat fakta yang secara umum merupakan beberapa tindakan atau janji yang diberikan sebagai pengganti untuk janji yang lain sebelum janji itu menjadi sebuah kontrak. Di samping itu, kontrak juga dapat merupakan’ serangkaian janji’. Hal ini tidak memberikan indikasi bahwa beberapa janji biasanya diberikan sebagai pengganti untuk janji yang lainnya. Akan tetapi hal tersebut bisa saja salah untuk mengasumsikan bahwa semua kontrak adalah persetujuan asli di mana di satu sisi suatu hal yang ditawarkan untuk suatu hal lain yang memiliki nilai sama dengan yang lainnya. Faktanya, seperti yang kita lihat, ada beberapa kasus di mana sebuah janji diperlakukan sebagai pemikiran kontraktual yang tidak ada persetujuan (bargain) yang nyata.[19]

Beberapa pengertian kontrak yang lain masih memiliki arti yang sama, tetapi ada satu pengertian yang tepat dan ringkas yang diungkapkan oleh Pollock yang mendefinisikan kontrak sebagai ‘suatu janji di mana hukum dapat diberlakukan baginya’ (promises which the law will enforce).[20]

Substansi dari definisi-definisi kontrak di atas adalah adanya mutual agreement atau persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan kewajiban yang dilaksanakan atau kewajiban yang memiliki kekuatan hukum.[21]

 

II SYARAT SAHNYA KONTRAK

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

  1. 1.      Adanya Kata Sepakat

Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.[22] Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.[23]

Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anta pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).[24] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, yaitu:

  1. Secara lisan
  2. Tertulis
  3. Dengan tanda
  4. Dengan simbol
  5. Dengan diam-diam

Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian tersebut, yaitu: [25]

  1. Teori kehendak of will (wilstheorie)

Menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

  1. Teori Pengiriman (verzentheorie)

Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

  1. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima; dan

  1. Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)

Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan .

Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini:

  1. a.      Paksaan (dwang)

Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan hak, kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.[26]

Menurut Sudargo,[27] paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan terhadapnya. Akan tetapi jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental.

 

  1. b.      Penipuan (Bedrog)

Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkaian cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.[28]

Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat mereka menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini harus disertai dengan tindakan yang menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak, seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu, dan tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai maksud jahat – contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin (kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka). Selain itu tindakan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.[29]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.[30]

Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya  tidak membuat kontrak tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak tersebut hanya dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan tidak menuntut ke pengadilan yang berwenang maka kontrak tersebut masih tetap sah.

 

  1. c.       Kesesatan atau Kekeliruan (Dwaling),

Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu error in persona, yaitu kekeliruan pada orangnya, contohnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis yang terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Yang kedua adalah error in substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu benda, contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki Abdullah.[31]

Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengidentifikasi subjek atau orangnya.[32]

 

  1. d.            Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheiden)

Penyalahgunaan Keadaan (Undue influence) merupakan suatu konsep yang berasal dari nilai-nilai yang terdapat di pengadilan. Konsep ini sebagai landasan untuk mengatur transaksi yang berat sebelah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang dominan kepada pihak yang lemah. Penyalahgunaan Keadaan ada ketika pihak yang melakukan suatu perbuatan atau membuat perjanjian dengan cara di bawah paksaan atau pengaruh terror yang ekstrim atau ancaman, atau paksaan penahanan jangka pendek. Ada pihak yang menyatakan bahwa Penyalahgunaan Keadaan adalah setiap pemaksaan yang tidak patut atau salah, akal bulus, atau bujukan dalam keadaan yang mendesak, di mana kehendak seseorang tersebut memiliki kewenangan yang berlebihan, dan pihak lain dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang tak ingin dilakukan, atau akan berbuat sesuatu jika setelahnya dia akan merasa bebas.[33]

Secara umum ada dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu: Pertama di mana seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya yang digunakan secara tidak adil untuk menekan pihak yang lemah supaya mereka menyetujui sebuah perjanjian di mana sebenarnya mereka tidak ingin menyetujuinya. Kedua, di mana seseorang menggunakan wewenang kedudukan dan kepercayaannya yang digunakan secara tidak adil untuk membujuk pihak lain untuk melakukan suatu transaksi. [34]

Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja, pihak yang merasakan telah memberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut dapat memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini, 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.

Persyaratan adanya kata sepakat dalam perjanjian tersebut di dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan istilah agreement atau assent. Section 23 American Restatement (second) menyatakan bahwa hal yang penting dalam suatu transaksi adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lawannya.

 

  1. 2.      Kecakapan untuk Membuat perikatan

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:

  1. Orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age)
  2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
  3. Perempuan yang sudah menikah

Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian  berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.

Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum

 

  1. 3.      Suatu Hal Tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya (determinable).[35] Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).

Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa.

Secara umum, suatu hal tertentu dalam kontrak dapat berupa hak, jasa, benda atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan dapat ditentukan jenisnya (determinable). Perjanjian untuk menjual sebuah lukisan yang belum dilukis adalah sah. Akan tetapi, suatu kontrak dapat menjadi batal ketika batas waktu suatu kontrak telah habis dan kontrak tersebut belum terpenuhi.[36]

J. Satrio menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi (performance). Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).[37]

KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.[38] Sebagai contohnya perjanjian untuk ‘panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun berikutnya’ adalah sah.

American Restatement Contract (second) section 33 menyatakan bahwa pokok perjanjian (term) menyatakan bahwa walaupun suatu pernyataan dimaksudkan untuk dianggap sebagai penawaran, hal ini belum dapat diterima langsung menjadi perjanjian, bila pokok perjanjian itu tidak tentu.

Black Law Dictionary mendefinisikan term sebagai persyartan, kewajiban, hak, harga, dan lain-lain yang ditetapkan dalam perjanjian dan dokumen. American Restatement Contract (second) Section 33 Sub 2 menjelaskan bahwa bila pokok perjanjian itu mencakup dasar untuk menyatakan adanya wan prestasi dan untuk memberikan ganti rugi yang layak.

 

  1. 4.      Kausa Hukum yang Halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.[39]

Menurut Pasal 1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.[40]

Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang jika bertentangan dengan ketertiban umum. J. Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan juga keresahan dalam masalah ketatanegaraan.[41] Di dalam konteks Hukum Perdata internasional (HPI), ketertiban umum dap[at dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum suatu negara.[42]

Kausa hukum yang halal di dalam sistem Common Law dikenal dengan istilah legality yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun, sampai sekarang belum ada definisi public policy yang diterima secara luas, pengadilan memutuskan bahwa suatu kontrak bertentangan dengan public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau mengganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare)[43]

Syarat sahnya kontrak di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian dan pembatalan untuk kedua syarat tersebut adalah dapat dibatalkan (voidable). Sedangkan persyaratan ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian dan pembatalan untuk kedua syarat tersebut di atas adalah batal demi hukum (null and void).

Dapat dibatalkan (voidable) berarti bahwa selama perjanjian tersebut belum diajukan pembatalannya ke pengadilan yang berwenang maka perjanjian tersebut masih tetap sah, sedangkan batal demi hukum (null and void) berarti bahwa perjanjian sejak pertama kali dibuat telah tidak sah, sehingga hukum menganggap bahwa perjanjian tersebut tidak pernah ada sebelumnya.

 

III. ASAS-ASAS KONTRAK

 

Henry P. Panggabean menyatakan bahwa pengkajian asas-asas perjanjian memiliki peranan penting untuk memahami berbagai undang-undang mengenai sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan masalah tersebut.[44]

Nieuwenhuis menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan ketentuan hukum (rechtsgels) sebagai berikut:[45]

  1. Asas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas;
  2. Asas-asas itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and balance. Asas-asas ini sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya menjadi merupakan rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh karena menunjuk ke arah yang berlawanan, maka asas-asas itu saling kekang mengekang, sehingga ada keseimbangan.

Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts atau optional law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut. Di dalam perjanjian, para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari ketentuan Buku III KUHPerdata.

Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian untuk melakukan perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu. Sehubungan dengan itu Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan:

  1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
  2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu; dan
  3. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Ada beberapa asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut:

  1. Asas konsensualisme;
  2. Asas facta sunt servanda;
  3. Asas kebebasan berkontrak; dan
  4. Asas iktikad baik.

Sudikno Mertokusumo mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:[46]

  1. Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian);
  2. Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian; dan
  3. Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).

Asas yang sama juga dikemukakan Ridwan Khairandy. Menurut Ridwan hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:[47]

  1. Asas konsensualisme (the principle of  consensualism);
  2. Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
  3. Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).

Berbeda dengan uraian di atas, Nieuwenhuis mengajukan tiga asas perjanjian yang lain, yakni:

  1. asas otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka pilih (asas kemauan bebas);
  2. asas kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dari perjanjian itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik); dan
  3. asas kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu perjanjian  untuk tunduk pada ketentuan hukum (rechtsregel) yang telah ada, walaupun ada kebebasan berkontrak.

Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur asas-asas perjanjian tersebut di atas, Nieuwenhuis memberikan penjelasan sebagai berikut:[48]

  1. hubungan antara kebebasan berkontrak dan asas otonomi berada dalam keadaan bahwa asas otonomi mensyaratkan adanya kebebasan mengikat perjanjian; dan
  2. perbedaannya adalah menyangkut pembenaran dari keterikatan kontraktual, asas otonomi memainkan peranan dalam pembenaran mengenai ada tidaknya keterikatan kontraktual. Suatu kekurangan dalam otonomi (tiadanya persetujuan (toesteming), misbruik omstandigheiden) digunakan sebagai dasar untuk pembenaran ketiadaan dan keterikatan kontraktual.

Menurut Henry P. Pangabean, perkembangan hukum perjanjian, misalnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk Wetboek atau BW (Baru) Negeri Belanda. Perkembangan itu justeru menyangkut penerapan asas-asas hukum perjanjian yang dikaitkan dengan praktik peradilan.[49]

 

  1. 1.        Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.[50] Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian.

Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.[51]

Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:[52]

  1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
  2. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
  3. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
  4. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
  5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
  6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.[53]

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang.

Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.[54]

Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak. Menurut Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda (re).[55]

Jadi, konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk terjadinya perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut telah terjadi dalam Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap perjanjian meskipun tanpa bentuk tertentu adalah mengikat para pihak, yang disokong oleh moral agama Nasrani yang menghendaki bahwa kata-kata yang telah diucapkan tetap dilaksanakan. Dengan demikian kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum Kanonik.[56]

Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi kondisi:

  1. adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;
  2. kecakapan untuk membuat perjanjian;
  3. adanya objek tertentu; dan
  4. ada kausa hukum yang halal.

Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni:[57]

  1. makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan
  2. makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan  keadaan dalam kontrak (misbruik van omstandigheden, undue influence).

Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian.[58] Contoh dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi kebebasan berkontrak adalah Undang-Undang Konsumen.

 

  1. 3.        Asas Konsensualisme

Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.[59]

Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.[60]

 

  1. 4.        Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak

Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya dianut di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum Kanonik. Hukum Kanonik dimulai dari disiplin penitisial bahwa setiap janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsip pacta sunt servanda. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya.[61]

Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat.[62]

Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.[63]

sumber :

http://ridwankhairandy.staff.uii.ac.id


[1] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hlm 36.

[2] A.G. Guest, (ed), Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1979, hlm 2

[3]J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 146.

[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 110

[5] Lihat A.G. Guest, loc. cit.

[6] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955, hlm 27

[7] Ibid, hlm 24

[8] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm 18.

[9] J. Satrio, op. cit,…Buku I, , hlm 28-30

[10]P.P.P Haanappel and Ejan Mackaay menterjemahkannya dalam bahasa Inggris sebagai berikut: “A contract in this sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an obligation toward one or more other parties”. Lihat P.P.P Haanappel and Ejan Mackaay, Nieuw Nderlands Burgerlijk Wetbeek, Het Vermorgenrechts, Kluwer, Deventer, 1990, hlm 325

[11] Arthur S. Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, Contract Law in Netherlands, Kluwer Law International, The Hague, London, Boston, 1995, hlm 33.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid, hlm 34.

[17] Walter Woon, Basic Business Law in Singapore, Prentice Hall, New York, 1995, hlm 27

[18] Ronald A. Anderson, Business Law, South-Western Publishing Co, Cincinnati, Ohio, 1987, hlm 186.

[19] P. S. Atiyah,  An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press Oxford, 1981, hlm 29.

[20] Ibid, hlm 28.

[21] Ronald A. Anderson, loc.cit

[22] Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 76.

[23] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1955, hlm 164.

[24] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm 24.

[25] Ibid

[26] See John D. Calamari and Joseph M. Perillo, Contracts, Second Edition, West Publishing Co., 1977, hlm 262-264.

[27] Sudargo Gautama, loc. cit

[28] Read J. Satrio, op.cit, ….. Buku I, hlm 350-355.

[29] Sudargo Gautama, op.cit, hlm 77.

[30] Ibid.

[31] Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 75.

[32] Sudargo Gautama, loc.cit.

[33] John D. Calamari and Joseph M. Perillo, op.cit, hlm 273.

[34] Ibid, hlm 274.

[35] Sudargo Gautama, op.cit, hlm 79.

[36] Ibid, hlm 80.

[37] J. Satrio, op.cit,….Buku II, hlm 41.

[38] Lihat Pasal 1333 KUHPerdata.

[39] Sudargo Gautama, op.cit, hlm 80.

[40] J. Satrio, op.cit,…Buku II, hlm 109.

[41] Ibid, hlm 41.

[42] Ridwan Khairandy, et.al, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII-Gamma Media, Yogyakarta, 1999, hlm 90.

[43] Henry R. Cheseeman, op.cit, hlm 205.

[44] Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden) sebagal Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 7.

[45] Ibid.

 

[46] Ibid.

[47] Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 27.

[48] Henry Panggabean, op.cit, hlm  8.

[49] Ibid, hlm 9.

[50] Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hlm 3.

[51] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm 36.

[52] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm 47.

[53] Ibid.

[54] Purwahid Patrik, op.cit, hlm 4.

[55] Ibid.

[56] Ibid.

[57] Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 3.

[58] Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm 179.

[59] Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 27.

[60] Ibid, hlm 82.

[61] Ibid, hlm 28.

[62] Ibid, hlm 29.

[63] Ibid.

Leave a comment