PERJANJIAN PENYELESAIAN/PEMBAYARAN PINJAMAN


PERJANJIAN PENYELESAIAN/PEMBAYARAN PINJAMAN
Nomor :

Pada hari ini, tanggal _______________________ . di ………………… telah diadakan perjanjian oleh dan antara :

1.Tuan ………………, bertempat tinggal di ………………….., Jl. …………………………, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor …………………………, dalam hal ini bertindak selaku Penjamin atas pelunasan hutang Perseroan Terbatas, P.T. …………………………….I, berkedudukan di ………………………, yang dalam melakukan perbuatan hukum ini telah mendapat persetujuan dari Nyonya …………………. , bertempat tinggal sealamat dengan suami, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor …………………….. yang turut menandatangani perjanjian ini.
(untuk selanjutnya disebut “Pihak Pertama”)

2.Perseroan Terbatas P.T. XXXXX Tbk, berkedudukan di Jakarta dalam hal ini melalui cabangnya di ………………………, beralamat di Jalan Jenderal Sudirman ……………………………… dan 14, Kelurahan Klandasan Ulu, untuk kepentingan ini diwakili oleh Tuan YYYYY, Vice President, dalam kedudukannya sebagai karyawan pimpinan, demikian berdasarkan kuasa Direksi berwenang dan sah bertindak untuk dan atas nama perseroan,
(untuk selanjutnya disebut “Pihak Kedua”)

Para pihak menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut :

1)Peminjam adalah Perseroan Terbatas, P.T. ………………………….I, berkedudukan di …………………… beralamat kantor di Jalan ………………………………………………………..

2)Bahwa Peminjam telah memperoleh fasilitas kredit dari Pihak Kedua sebagai berikut :

Fasilitas Pinjaman Tetap sesuai Perjanjian Kredit Nomor : …………………. tanggal ……………….. sebesar Rp. …………………………..,- (………………………………rupiah) dalam jangka waktu 12 bulan yang jatuh tempo pada tanggal ……………………….., yang per tanggal …………………………. masih terdapat kewajiban Peminjam kepada Pihak Kedua sebesar Rp………………………………. (…………………………………………… rupiah)

Selanjutnya seluruh fasilitas kredit tersebut di atas disebut “Fasilitas Kredit” sedangkan untuk seluruh perjanjian kredit di atas selanjutnya disebut “Perjanjian Kredit”.

3)Jumlah kewajiban tersebut diatas belum termasuk biaya-biaya penagihan yang telah dan atau akan dikeluarkan oleh Pihak Kedua dan jumlah kewajiban Peminjam tersebut akan terus diperhitungkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sampai dengan pinjaman dibayar lunas

4)Bahwa Pihak Pertama menyadari bahwa atas Fasilitas Kredit tersebut tidak menutup timbulnya segala kewajiban berupa bunga, denda serta kewajiban lain, baik yang telah ada maupun yang akan timbul di kemudian yang melekat pada Fasilitas Kredit, sesuai dengan Perjanjian Kredit yang telah disepakati para pihak.

5)Bahwa sebagai jaminan kredit telah diserahkan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua Tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya sebagaimana ternyata dalam:
Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor ……………….. luas tanah ………………… M2 luas yang terletak di Propinsi …………………………., Kota ……………………., Kecamatan …………………….., Kelurahan ………………….. sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur tertanggal …………………… Nomor ……………………menurut Sertipikat (tanda bukti hak) yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota ………………., tertanggal …………………. terdaftar atas nama …………………………… berikut segala sesuatu yang terdapat diatas tanah tersebut, yang menurut sifatnya, peruntukan dan menurut ketentuan hukum dianggap sebagai benda tetap/ tak bergerak tanpa kekecualian;

Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor ……………….. luas tanah ………………… M2 luas yang terletak di Propinsi …………………………., Kota ……………………., Kecamatan …………………….., Kelurahan ………………….. sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur tertanggal …………………… Nomor ……………………menurut Sertipikat (tanda bukti hak) yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota ……………….., tertanggal ……………….. terdaftar atas nama …………………………… berikut segala sesuatu yang terdapat diatas tanah tersebut, yang menurut sifatnya, peruntukan dan menurut ketentuan hukum dianggap sebagai benda tetap/ tak bergerak tanpa kekecualian;

Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor ……………….. luas tanah ………………… M2 luas yang terletak di Propinsi …………………………., Kota ……………………., Kecamatan …………………….., Kelurahan ………………….. sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur tertanggal …………………… Nomor ……………………menurut Sertipikat (tanda bukti hak) yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota ………………, tertanggal ………………terdaftar atas nama …………………………… berikut segala sesuatu yang terdapat diatas tanah tersebut, yang menurut sifatnya, peruntukan dan menurut ketentuan hukum dianggap sebagai benda tetap/ tak bergerak tanpa kekecualian;

Untuk selanjutnya disebut “Obyek”

6)Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Perjanjian Kredit, Pihak Kedua berhak untuk meminta pelunasan seluruh Fasilitas Kredit Peminjam, dalam hal Peminjam tidak memenuhi kewajibannya kepada Pihak Kedua.

7)Bahwa Pihak Pertama telah mengetahui dan menyadari apabila Peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran dengan baik dan sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan tunggakan, maka Pihak Pertama bersedia menjual atau menyerahkan Obyek yang dijadikan jaminan atas pelunasan hutang Peminjam kepada Pihak Kedua untuk dijual yang hasil penjualannya akan digunakan untuk membayar hutang Peminjam tersebut kepada Pihak Kedua.

8)Bahwa dalam Perjanjian ini, Pihak Pertama menyatakan terdapat tunggakan hutang Peminjam kepada Pihak Kedua yang belum dilunasi oleh Peminjam dan untuk melunasi tunggakan tersebut Pihak Pertama berkehendak untuk menjual Obyek termasuk memberikan kuasa menjual Obyek kepada Pihak Kedua guna diperhitungkan sebagai pembayaran hutang Peminjam kepada Pihak Kedua.

9)Bahwa Pihak Pertama setuju untuk menyelesaikan seluruh kewajiban Peminjam kepada Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian Kredit dengan cara, syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Kesepakatan ini.

Sehubungan dengan hal-hal di atas PEMINJAM dan PIHAK KEDUA setuju untuk membuat Kesepakatan dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut :

1.Bahwa berdasarkan catatan Pihak Kedua, hutang Peminjam kepada Pihak Kedua hingga tanggal ………………. :
 Fasilitas Pinjaman Modal Kerja sebesar Rp. …………………,- (…………….……………………………………… rupiah)

dan telah menyadari bahwa atas Fasilitas Kredit tersebut tidak menutup timbulnya segala kewajiban berupa bunga, denda serta kewajiban lain, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari yang melekat pada Fasilitas Kredit, sesuai dengan Perjanjian Kredit yang telah disepakati para pihak.

2.Bahwa untuk menyelesaikan hutang Peminjam tersebut, Pihak Pertama dengan ini secara sadar dan sukarela, berkehendak untuk memberikan kuasa menjual terhadap Obyek tersebut di atas kepada Pihak Kedua untuk diperhitungkan sebagai “Pembayaran Hutang”.

3.Bahwa untuk pembayaran hutang tersebut Pihak Pertama memberikan persetujuan dan kuasa kepada Pihak Kedua untuk menjual Obyek tersebut baik melalui pelelangan umum atau melalui penjualan sendiri kepada Pihak Kedua di mana Pihak Pertama akan memberikan “Surat Kuasa Menjual” yang dibuat terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian ini, dengan nilai minimal senilai sisa hutang Peminjam kepada Pihak Kedua. Dan jika harga jual tersebut tidak tercapai maka Pihak Kedua berhak menentukan harga jual dengan pertimbangan harga pasar wajar sesuai dengan pertimbangan Pihak Kedua dan/atau harga penawaran tertinggi dari calon pembeli.

4.Bahwa apabila hasil penjualan dari Obyek tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang Peminjam kepada Pihak Kedua, maka Pihak Kedua tetap berhak melakukan penagihan atas sisa kewajiban Peminjam yang belum terbayar dan dengan demikian Peminjam tetap terikat membayar lunas atas sisa hutang yang masih harus dibayar Peminjam kepada Pihak Kedua.

5.Bahwa Peminjam dan Pihak Pertama bertanggung jawab serta bersedia menyerahkan obyek dalam keadaan kosong sesuai syarat dan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Pengosongan yang telah ditandatangani oleh Pihak Pertama. Perjanjian Pengosongan tersebut dibuat secara terpisah namun merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian ini.

6.Apabila dalam penjualan Obyek oleh Pihak Kedua tetap diperlukan tanda-tangan Pihak Pertama maka Pihak Pertama wajib bersedia menandatangani dokumen-dokumen yang diperlukan.

7.Pihak Pertama setuju bahwa hasil penjualan Obyek akan dimasukkan kedalam rekening penampung yang disediakan oleh Pihak Kedua dan Pihak Kedua akan mempergunakan seluruh dana hasil penjualan Obyek untuk membayar kewajiban Peminjam kepada Pihak Kedua.
8.Seluruh biaya yang timbul akibat pelaksanaan Kesepakatan, termasuk biaya Notaris, Sertifikasi dan Balik Nama tanah, Pajak menjadi beban dan tanggung jawab Peminjam dan Pihak Pertama..
9.Seluruh Pajak Terhutang atas obyek PPJB dan/atau AJB sebelum penandatanganan PPJB dan/atau AJB tetap menjadi beban tanggung jawab Peminjam dan Pihak Pertama.
10.Pihak Pertama setuju bahwa efektivitas Kesepakatan ini tergantung pada terpenuhinya seluruh dan setiap syarat dan ketentuan dalam Kesepakatan dan dokumen lain yang dibuat sehubungan dan merupakan dari Kesepakatan ini; sehingga apabila Kesepakatan menjadi tidak efektif maka syarat dan ketentuan Perjanjian Kredit dan Perjanjian Pengikatan Jaminan menjadi berlaku kembali.
11.Kesepakatan ini merupakan bagian dan kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kredit dan perjanjian lain yang telah/akan dibuat oleh dan antara Pihak Kedua dan Peminjam.

12.Perjanjian ini dibuat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya dan perjanjian ini tidak akan berakhir dan dalam hal Peminjam meninggal dunia akan tetap mengikat (para) ahli waris Peminjam.

13.Mengenai perjanjian ini dengan segala akibatnya, kedua belah pihak memilih tempat kediaman hukum tetap yaitu di Kantor Panitera Pengadilan Negeri …………….. di ……………………. atau Pengadilan Negeri lain yang ditunjuk

Pihak Pertama Pihak Kedua.
PT. BANK XXXXXX, Tbk.

Materai

……………………………… …………………………….. YYYYY
Branch Manager

Posted in Tak Berkategori | Leave a comment

Perlindungan Hukum Rahasia Bank di Indonesia


Perbankan di Indonesia yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Perbankan merupakan pokok dari sistem keuangan setiap negara, karena perbankan merupakan salah satu motor penggerak pembangunan seluruh bangsa. Tidak dapat disangkal bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945, perbankan mempunyai peran yang sangat penting.

Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.

Sebagai salah satu motor penggerak pembangunan bangsa, lembaga perbankan mempunyai peran yang sangat strategis karena bank mempunyai fungsi intermediasi untuk menghimpun dana dari masyarakat sebagai nasabah dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali dana tersebut dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkannya. Bank diharapkan dapat menyerasikan, menyelaraskan dan menyeimbangkan unsur pemerataan pembangunan dan hasil–hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional yang pada akhirnya mengarah kepada peningkatan taraf hidup masyarakat banyak.

Bank di Indonesia merupakan bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Pada era globalisasi, bank juga telah menjadi bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh ijin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi “milik” masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.

Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting, lebih-lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem pembayaran dari negara yang bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi di tahun 1929-1933 ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu ditutup karena merugi.

Bank merupakan lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar tingkat kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak.

Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah :
• Integritas pengurus;
• Pengetahuan dan kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial maupun pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan;
• Kesehatan bank yang bersangkutan;
• Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.

Salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut “dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah identitas nasabah tersebut kepada pihak lain”.

Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh “rahasia bank”. Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban mudah untuk disimpangi.

Perbankan dituntut untuk dapat bekerja secara profesional, dapat membaca dan menelaah, serta menganalisis semua kegiatan dunia usaha serta perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka lembaga perbankan perlu dibina dan diawasi secara terus–menerus agar dapat berfungsi dengan efisien, sehat, wajar, mampu bersaing dan dapat melindungi dana yang disimpan oleh nasabah dengan baik serta mampu menyalurkan dana simpanan tersebut kepada sektor–sektor produksi yang benar–benar produktif sesuai dengan sasaran pembangunan. Sehingga dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman tersebut tidak sia–sia.

Sebaliknya, nasabah yang mempercayakan dana simpanannya untuk dikelola oleh pihak bank juga harus mendapat perlindungan dari tindakan yang dapat merugikan nasabah yang mungkin dilakukan pengelola bank. Selain itu untuk menjaga nama baik nasabah, maka harus diatur kapan dan dalam hal yang bagaimana bank diperkenankan untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal–hal lain dari nasabah yang diketahui oleh bank. Nasabah hanya akan mempergunakan jasa bank untuk menyimpan dananya apabila ada jaminan dari bank bahwa pihak bank tidak akan menyalahgunakan pengetahuannya tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabahnya.

Dalam rangka menghindari terjadinya penyalahgunaan keuangan nasabah, maka dibuatlah aturan khusus yang melarang bank untuk memberikan informasi tercatat kepada siapapun berkaitan dengan keadaan keuangan nasabah, simpanan dan penyimpanannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 kecuali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan secara tegas didalam undang-undang tersebut. Hal inilah yang disebut dengan “Rahasia Bank”.

Pembangunan ekonomi suatu negara disamping memerlukan program pembangunan yang terencana dan terarah untuk mencapai sasaran pembangunan, maka faktor lain yang dibutuhkan adalah modal/dana pembangunan yang cukup besar. Peningkatan pembangunan ekonomi ataupun pertumbuhan ekonomi perlu ditunjang dengan peningkatan dana pembangunan. Umumnya suatu negara mengalami keterbatasan dalam penyediaan dana pembangunan, untuk itu diperlukan mobilisasi dana dari masyarakat.

Disinilah diperlukannya peranan perbankan, terutama dikarenakan kemampuannya untuk menggali sumber-sumber dana dari dalam dan luar negeri serta menyalurkannya dalam bentuk pinjaman kepada para pelaku usaha yang membutuhkannya agar mampu menjadi salah satu katalisator penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

Salah satu permasalahan yang sering dibahas dalam Undang-Undang Perbankan Indonesia adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Di satu sisi, bank sebagai pihak yang menyimpan dana dari nasabahnya dituntut untuk menjaga kepercayaan nasabahnya tersebut, antara lain dengan mematuhi ketentuan mengenai rahasia bank. Sedangkan di sisi lain, ketentuan rahasia bank perlu dilonggarkan demi proses penegakkan hukum yang lebih baik untuk kepentingan banyak orang.

Dalam rangka meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga Perbankan, ketentuan mengenai Rahasia Bank yang selama ini sangat tertutup harus ditinjau ulang. Rahasia Bank dimaksud merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, tetapi tidak seluruh aspek yang ditatausahakan bank merupakan hal-hal yang dirahasiakan.

Beberapa permasalahan yang aktual terkait rahasia bank diantaranya: kasus Bank Century yang cukup menyita sebagian besar energi negara untuk menyelesaikannya. Dalam rangka pengungkapan fakta, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah meminta data/keterangan tentang sejumlah besar mantan nasabah Bank Century kepada Bank Mutiara (nama baru Bank Century setelah diambil alih oleh pemerintah). Sayangnya, permintaan DPR ini tidak dapat dilayani Bank Mutiara karena bank ini tidak ingin melanggar ketentuan mengenai rahasia bank. Tuduhannya sangat serius, yaitu direksi Bank Century dianggap menghalang-halangi tugas Pansus yang diamanatkan konstitusi. Sungguh mengerikan bagi kalangan perbankan yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik.

Rahasia bank adalah inti dari bisnis perbankan yang tidak bisa dibuka secara sembarangan, pada prinsipnya langkah Pansus Hak Angket anggota DPR untuk kasus Bank Century adalah mencari kebenaran, bukan mencari-cari pembenaran, apalagi mencari kesalahan dengan mencari korban karena tidak menemukan aliran dana ke pasangan calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang dituduhkan pada awal terbentuknya Pansus pada akhir 2009.

DPR akhirnya meminta saran kepada Mahkamah Agung agar data yang diharapkan dapat diperolehnya. Pada akhirnya, data yang diharapkan diperoleh Pansus Angket Century melalui sebuah penetapan pengadilan. Contoh kasus Bank Century di atas memperlihatkan betapa sulitnya menerobos ketentuan mengenai rahasia bank. Bank Mutiara tidak dapat dipersalahkan atas dasar tindakan non-kooperatifnya yang tidak mau memberikan data yang diminta Pansus Angket Century, karena tindakan itu dilakukan atas dasar kepatuhannya kepada ketentuan mengenai rahasia bank. Padahal publik menghendaki adanya kejelasan tentang kasus Bank Century.

Ketentuan kerahasiaan bank dalam pelaksanaannya seringkali terjadi perbedaan penafsiran ketentuan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 diantara stake holder perbankan, baik dari kalangan praktisi perbankan, nasabah perbankan, auditor, aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi), pemerintah dan anggota DPR.

Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 Tahun 2000 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank, telah jelas dimuat detail prosedur pembukaan rahasia bank, namun dalam prakteknya banyak pihak berusaha untuk menerobos ketentuan tersebut dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan lain yang saling bertentangan.

Bahkan seringkali pada aparat penegak hukum memaksa kepada pihak perbankan untuk menyerahkan dokumen dan informasi nasabah yang terkait rahasia bank tanpa melalui prosedur pembukaan rahasia bank sesuai Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dengan ancaman pihak perbankan yang menghalangi penyidikan dapat dikenakan sanksi pidana.

A.Tinjauan tentang Rahasia Bank.

1.Pengertian Rahasia Bank

Pada dasarnya bank menjalankan prinsip kepercayaan yang diberikan oleh penyimpan dana untuk menjaga kerahasiaan rekening nasabahnya. Oleh karena hubungan bank dan nasabah adalah bersifat kerahasiaan, hal ini sering disebut dengan rahasia bank (bank secrecy). Istilah rahasia bank ini mengacu kepada hal-hal yang berhubungan dengan interaksi antara bank dengan nasabahnya. Nasabah tentu tidak mengharapkan untuk memberitahu pihak ketiga tentang keadaan keuangan nasabah tersebut.

Rahasia Bank atau Banking Secrecy dikenal di negara manapun di dunia ini yang mempunyai lembaga keuangan bank. Rahasia bank tidak bedanya dengan rahasia yang harus dipegang teguh oleh para professional seperti pengacara yang wajib merahasiakan hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan kalau rahasia dimaksud tidak dipegang teguh dan dibocorkan kepada pihak lain, maka atas tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi, baik perdata maupun pidana.

Kerahasiaan informasi yang lahir dalam kegiatan perbankan ini pada dasarnya lebih banyak untuk kepentingan bank itu sendiri, karena sebagai lembaga keuangan, kepercayaan adalah keutamaan dalam melaksanakan kegiatannya. Untuk menjamin hal itu, pemerintah telah menjamin hak-hak nasabah dengan undang-undang, yaitu Undang-Undang Perbankan.

Menurut Munir Fuady, hubungan antara bank dengan nasabah ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa. Akan tetapi dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia nasabahnya kepada pihak lain manapun kecuali jika ditentukan lain oleh perundang – undangan yang berlaku. Hal ini dinamakan rahasia bank. Dengan demikian, istilah rahasia bank mengacu pada rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya.

Menurut Kasmir, dikarenakan kegiatan dunia perbankan mengelola uang masyarakat, maka bank wajib menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bank wajib menjaga keamanan uang tersebut agar benar – benar aman. Agar keamanan uang nasabahnya terjamin, pihak perbankan dilarang untuk memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal – hal lain dari nasabahnya. Dengan kata lain bank harus menjaga rahasia tentang keadaan keuangan nasabah dan
apabila melanggar kerahasiaan ini perbankan akan dikenakan sanksi.

Menurut Sutan Remy Syahdeni, untuk dapat memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya adalah ”dapat tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya dan atau menggunakan jasa – jasa lainnya dari bank tersebut untuk tidak mengungkapkan keadaan keuangan dan transaksi nasabah serta keadaan lain dari nasabah yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini prinsip kerahasiaan bank sangat penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat.

Menurut Muhammad Djumhana, rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal – hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan tidak boleh secara terbuka diungkapkan kepada pihak masyarakat. Dalam hubungan ini yang menurut kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank, adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan hal – hal lain dari orang, dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya.

Dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan.

Pada mulanya Bank muncul dan berkembang dari kegiatan tukar-menukar yang dikenal sejak zaman purbakala di Athena, dan Romawi. Pada zaman itu, di Athena orang yang menjalankan tugas tukar-menukar uang dinamakan trapezites (orang dihadapan meja) atau argentarius di Romawi. Selain melakukan tugas tukar-menukar uang mereka juga menjalankan tugas menyimpan serta meminjamkan uang bagi mereka yang memerlukan.

Usaha tukar-menukar dan simpan-pinjam ini menjadi lebih berkembang pada akhir abad pertengahan. Hal ini disebabkan karena perkembangan usaha-usaha perdagangan di Eropa serta timbulnya berbagai mata uang yang dimiliki oleh beberapa negara. Khusus dalam tugas peminjaman uang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, kemudian diikuti oleh orang-orang Italia yang berasal dari Lombardia.

Sejak 4000 tahun yang lalu di Babylonia, kerahasiaan bank sebagai suatu kelaziman telah dipraktekkan sebagaimana tercantum dalam Code of Hamourabi. Begitu juga pada Kerajaan Romawi Kuno, hal yang menyangkut hubungan antara nasabah dan perbankan sudah diatur, termasuk di dalamnya kerahasiaan bank. Sejarah mencatat pula aturan tentang pelarangan-pelarangan yang berkaitan tentang bank termaktum dalam ketentuan Banco Ambrosiano di Milano-Italia pada tahun 1593. Bank-bank yang melanggar ketentuan rahasia bank, ijin usahanya dapat dicabut .

Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan. Hal ini nyata terlihat ketika Court of Appeal Inggris secara bulat memutuskan pendiriannya dalam kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England tahun 1924, suatu putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case law yang menyangkut ketentuan rahasia bank di Inggris dan kemudian diacu oleh pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang menganut common law system.

Bahkan 60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam perkara Foster v. The Bank of London tahun 1862, juri telah berpendapat bahwa terdapat kewajiban bagi bank untuk tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan kepada pihak lain. Namun pada waktu itu pendirian tersebut belum memperoleh afirmasi dar putusan-putusan pengadilan berikutnya.

Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank, adalah semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara yang dikenal mempunyai ketentuan rahasia bank yang dahulunya paling ketat di dunia, adalah juga semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah bank secara individual.

Pada waktu itu ketentuan rahasia bank bersifat mutlak; artinya tidak dapat dikecualikan karena alasan apapun juga. Ketentuan rahasia bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss sebagai negara yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam abad ke-17, ribuan kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena mereka dikejar-kejar atau dilakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka sehubungan dengan agama yang mereka anut.

Diantara mereka itu kemudian ada yang menjadi bankir, dan menginginkan agar supaya kerahasiaan dari nasabah-nasabah mereka untuk urusan-urusan keuangannya di negara asalnya dirahasiakan. Alasan kedua adalah sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi berkuasa di Jerman di tahun 1930-an dan 1940-an .

Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan di bidang money laundering, dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu.

Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat dikesampingkan. Contoh yang konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan kepentingan negara untuk menghitung memungut: 1) pajak nasabah yang bersangkutan, 2) penindakan korupsi, dan 3) pemberantasan money laundering.

Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum, dikehendaki agar kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan negara yang dimaksud adalah pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan. Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam upaya bank itu mengerahkan tabungan masyarakat.

Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah antara lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan kewajiban rahasia bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum menghendaki demikian.

Di Indonesia pengaturan rahasia bank untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1960 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor. 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. Pengaturan rahasia bank selanjutnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:

(1)Pengertian rahasia bank meliputi keterangan-keterangan mengenai keadaan keuangan dan lain-lain dari segala macam nasabah yang hanya menggunakan jasa bank. Pengertian ini sangat luas meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan nasabah dan diterapkan dalam ketentuan yang berlaku dari tahun 1960 sampai tanggal 10 November 1998 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998;

(2)Pengertian rahasia bank yang hanya meliputi keterangan mengenai nasabah penyimpan dana dan simpanannya saja. Pengertian ini sangat terbatas dan berlaku sejak 10 November 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Pengertian rahasia bank dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang dimuat Pasal 1 ayat 16 mengatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Pengertian ini kemudian diubah dengan pengertian baru oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ketentuan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

2.Sifat Rahasia Bank

Mengenai sifat rahasia bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu teori yang mengatakan rahasia bank yang bersifat mutlak (absolute theory) dan yang mengatakan bersifat relatif (relative theory). Kedua teori ini masing-masing berpegang pada alasan atau argumentasinya. Adapun dua teori mengenai kekuatan berlakunya asas rahasia bank, yaitu:

a.Teori Mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat mutlak . Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan Dengan alasan apa pun dan oleh siapapun kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak boleh dibuka (diungkapkan).

Apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, bank yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkannya. Keberatan terhadap teori mutlak adalah terlalu individulis, artinya hanya mementingkan hak Individu (perseorangan). Di samping itu, teori mutlak juga bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh kepentingan individu yang merugikan Negara atau masyarakat banyak. Teori mutlak ini terutama dianut di Negara Swiss sejak tahun 1934.

Sifat mutlak rahasia bank tidak dapat diterobos dengan alasan apapun. Hal ini dapat dilihat di dalam Undang-Undang Pemerintah Swiss No. 47 mengenai “Perbankan dan bank Tabungan” November 1934. Dengan demikian, para koruptor atau pedagang narkotika kelas kakap didunia merasa aman menyimpan uang hasil kejahatannya di bank-bank Swiss.

Salah satu contoh pelaku yang memanfaatkan teori mutlak tentang kerahasiaan bank di bank-bank Swiss adalah mantan Presiden Ferdinand Marcos dari Filipina, dan gembong narkotika Dennis Levine. Ketatnya rahasia bank dilaksanakan di Swiss, mengakibatkan beberapa Negara tidak dapat menjangkau uang hasil kejahatan warga negaranya yang merugikan Negara atau masyarakat banyak, yang disimpan di bank-bank Swiss. Oleh karena itu, teori mutlak yang dianut oleh Negara Swiss mendapat reaksi keras dari beberapa negara yang kepentingannya dirugikan.

Sebagai contoh adalah kasus gugatan pemerintah Amerika Serikat melalui Stock Exchange Commission (SEC) kepada sejumlah bank di Swiss sehubungan dengan penampungan dana hasil insider trading yang disimpan di beberapa bank di Swiss, Agar bank-bank yang bersangkutan membuka rahasia keuangan nasabahnya.

Ternyata rahasia bank yang bersifat mutlak itu dapat dikompromikan. Sifat mutlak ini ditinggalkan oleh bank-bank di Swiss sejak tahun 1991 dengan menghapuskan nama samaran dari kode rekening nasabah yang terkenal dengan “Formulir B”, yang harus diganti dengan nama aslinya melalui pendaftaran ulang. Jika para nasabah yang bersangkutan tidak mendaftar ulang, mereka harus menutup rekeningnya.

b.Teori Relatif (Relative Theory)
Menurut teori ini, rahasia bank bersifat relatif (terbatas). Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang, rahasia bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh dibuka (diungkapkan) kepada pejabat yang berwenang, misalnya pejabat perpajakan, pejabat penyidik tindak pidana ekonomi.

Keberatan terhadap teori relatif adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang kebetulan tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum (law enforcement) karena tidak terkena penyidikan. Dengan demikian, dana tetap aman. Tetapi teori relatif sesuai dengan rasa keadilan (sense of justice), artinya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat tidak dikesampingkan begitu saja.

Apabila ada alasan dan sesuai dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka (diungkapkan). Dengan demikian, teori relatif melindungi kepentingan semua pihak, baik individu, masyarakat, ataupun negara. Teori relatif dianut oleh negara-negara pada umumnya antara lain Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Singapura, Indonesia. Rahasia bank yang berdasarkan teori relatif diatur dalam Pasal 40-47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

3.Tujuan Rahasia Bank
Rahasia bank yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Bank Secrecy atau di Amerika Serikat disebut Financial Privacy ini dianggap pengaturan ketentuan Rahasia Bank di Indonesia sebagai hak asasi yang harus dilindungi dari campur tangan negara dan orang lain, sebab financial privacy berkaitan erat dengan kebebasan pribadi seseorang yang harus dilindungi oleh suatu sistem yang demokratis.

Dengan demikian ketentuan rahasia bank ini melindungi kepentingan masyarakat dari campur tangan negara. Ketentuan rahasia bank antara lain ditujukan untuk kepentingan nasabah agar kerahasiaannya terlindungi. Kerahasiaan tersebut menyangkut keadaan keuangannya.

Selain itu juga, ketentuan rahasia bank diperuntukkan juga bagi kepentingan bank, agar dapat dipercaya dan kelangsungan hidupnya terjaga. Di Indonesia, pengaturan rahasia bank lebih dititik beratkan pada alasan untuk kepentingan bank, seperti terlihat dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank itu sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank.

Ada 5 (lima) alasan yang mendasari kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu tentang nasabah dan simpanannya, yaitu:
a.Personal Privacy;
b.Hak yang timbul dari hubungan perikatan antara bank dan nasabah;
c.Peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.Kebiasaan atau kelaziman dalam dunia perbankan;
e.Karakteristik kegiatan usaha bank sebagai suatu “lembaga kepercayaan” yang harus memegang teguh kepercayaan nasabah yang menyimpan uangnya di bank.

4.Pengaturan Rahasia Bank di Indonesia

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah membuat sejarah baru dalam hal ketentuan rahasia bank di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, sejarah rahasia bank di Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan atas dua periode :

a.Periode sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menganut pengertian yang sangat luas mengenai rahasia bank, yang meliputi nasabah penyimpan, nasabah peminjam dan nasabah pengguna jasa lainnya.

b.Periode setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menganut pengertian rahasia bank yang terbatas, yaitu hanya meliputi penyimpan dan simpanannya saja. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengatur masalah rahasia bank dalam beberapa Pasal, yaitu :

(1)Bab I Ketentuan Umum dalam Pasal 1 angka 28.
(2)Bab VII berjudul Rahasia Bank dalam Pasal-Pasal 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47.

Beberapa perubahan yang mendasar pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebagai berikut :

Pertama, ruang lingkup rahasia bank dipersempit hanya meliputi nasabah penyimpan dana dan simpanannya saja. Apabila nasabah bankadalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur,bank wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah dalamkedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang diwajibkan untuk dirahasiakan oleh bank menurut Undang-Undang.

Sebelum terjadinya perubahan, ruang lingkup kerahasiaan itu sendiri sangat luas, yaitu meliputi nasabah penyimpan dana, nasabah peminjam dana dari bank dan nasabah pengguna jasa bank.

Kedua, dalam pengecualian ketentuan rahasia bank ditambahkan beberapa hal, yaitu :
a.Dimungkinkannya Ketua Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan penyimpan dana;
b.Atas permintaan, persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah dapat membuka rahasia bank;
c.Ahli waris berhak untuk mengetahui keadaan keuangan dari orang yang mewariskan;
d.Dimungkinkannya Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa bank, apabila bank tersebut mengelola keuangan negara;
e.Perijinan untuk memberikan pengecualian rahasia bank oleh Pimpinan Bank Indonesia. Ijin akan diberikan sepanjang permintaan tersebut telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Pemberian ijin oleh Bank Indonesia harus dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen permintaan diterima secara lengkap;
f.Sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan rahasia bank diperberat. Pihak-pihak yang memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan yang bersifat rahasia bank, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun serta denda paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Sementara untuk anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak yang terafiliasi yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 8.000.000.000,-

Pada tanggal 31 Desember 1998 Bank Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/182/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Ijin atau Perintah Membuka Rahasia Bank sebagai pelaksanaan Undang-Undang Perbankan. Petunjuk pelaksanaan dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut dijelaskan lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UPPB/ tertanggal 31 Desember 1998.

Salah satu perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Dilihat dari paragraf ke-8 Penjelasan Umum, perubahan ketentuan mengenai rahasia bank dihubungkan dengan upaya peningkatan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan.

Inti perubahan rahasia bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bila dibandingkan dengan ketentuan yang lama adalah perlunya peninjauan ulang atas sifat ketentuan rahasia bank yang selama ini sangat kaku dan tertutup. Jadi walaupun rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, namun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan untuk tidak merahasiakan seluruh aspek yang ditatausahakan oleh bank.

Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, bilamana dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, perubahan ketentuan rahasia bank meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan instansi yang berwenang memberi perintah atau ijin pengecualian, dan ketentuan pidana berkenaan dengan rahasia bank. Pembahasan berikut ini mencoba menjelaskan satu persatu dari perubahan-perubahan tersebut.

Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 memberi pengertian atas rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Berkenaan dengan pengertian tersebut, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menjelaskan bahwa yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Dengan demikian pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sangat luas, baik menyangkut obyek maupun kedudukan nasabahnya.

Hal ini berbeda dengan pengertian yang dianut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.

Pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya memang tidak ada penjelasannya secara rinci, namun pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 secara tegas membatasi kedudukan nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni hanya Nasabah Penyimpan. Dalam penjelasan Pasal 40 ditegaskan, bilamana nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.

Kedua, sebagaimana menjadi ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 juga memberi pengecualian kepada pihak-pihak serta untuk kepentingan tertentu mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan mengenai nasabah bank. Bahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memperluas pihak dan kepentingan tersebut, sehingga secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
a.bagi pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;
b.bagi pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan; Piutang Negara (BUPLN/PUPN) untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN;
c.bagi polisi, jaksa atau hakim untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
d.bagi pengadilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya;
e.bagi bank lain dalam rangka tukar menukar informasi antar bank;
f.bagi pihak lain yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atas permintaan, persetujuan atau kuasa Nasabah Penyimpan;
g.bagi ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia.

Disamping tujuh pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak lain yang dapat dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, yakni Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Akuntan Publik, Bank Indonesia, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) serta terkait Pembagian Harta Bersama.

Ketiga, bagi pengecualian sebagaimana disebutkan di atas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu bilamana pihak-pihak ingin mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menetapkan bahwa perintah atau ijin tertulis bagi pengecualian ada pada Menteri Keuangan, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mempunyai semangat kemandirian Bank Indonesia, telah menetapkan bahwa perintah tertulis atau ijin pengecualian tersebut ada pada Pimpinan Bank Indonesia.

Menurut Pasal 1 butir 21 jo butir 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang dimaksud Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan Bank Sentral Republik Indonesia. Sedangkan dalam perkara perdata yang terjadi antara bank dengan nasabahnya, serta dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, tidak ada perbedaan antara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dimana keduanya mengijinkan direksi bank untuk menginformasikan keterangan mengenai nasabahnya.

Keempat, disamping memperberat ancaman pidana perbuatan yang telah dikenal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yakni perbuatan yang dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan tanpa membawa perintah tertulis atau ijin; dan perbuatan yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menambah satu jenis perbuatan pidana baru yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yaitu perbuatan pidana yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A.

Dengan adanya ketentuan ini berarti bank dan pihak terafiliasi bukan saja bertanggung jawab untuk tidak mengungkapkan rahasia bank kepada pihak-pihak yang tidak berwenang, melainkan juga bertanggung jawab untuk memberikan keterangan mengenai rahasia bank bilamana telah dipenuhi syarat-syarat dan prosedur pengecualian sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Referensi :
Husein, Yunus. Rahasia bank privasi Versus Kepentingan Umum. Universitas Indonesia : Pasca Sarjana Fakultas Hukum. 2003
___________. Rahasia Bank dan Penegakan Hukum. Jakarta Pustaka Juanda Tiga Lima. 2010
___________. Negeri Sang Pencucian Uang. Cet 1. Pustaka Juanda Tiga Lima. 2008.

Posted in Tak Berkategori | Leave a comment

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)


Kejahatan pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran atas isi 4 macam objek surat, ialah surat yang menimbulkan suatu hak; surat yang menerbitkan suatu perikatan; surat yang menimbulkan pembebasan utang dan surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen).

Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.

Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek pemalsuan surat tersebut, bersifat alternatif. Harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Membuktikannya ialah melalui dan menggunakan hukum pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP.

Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai sebuah surat misalnya KTP, sehingga menghasilkan sebuah KTP. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan (temposnya) dan dimana (lokusnya) – semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti identitas menginap di sebuah hotel. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan sekutidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim.

Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Tiga keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minmal 2 alat bukti yang syah tersebut, ialah hakim yakin tindak pidana terjadi, hakim yakin terdakwa melakukannya dan hakim yakin terdakwa bersalah.

Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah KTP yang diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya ke petugas hotel dalam hal memesan kamar untuk orang lain. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja. Dan tidak membuktikan sebagai pembuatnya. Lebih-lebih lagi, untuk terbitnya sebuah KTP selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang. Di dalam sebuah KTP harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Camat asli, tapi namnya yang fiktif.

Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Camat atau orang-orang lain?

Menggunakan sebuah surat adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain.
Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263.

Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti, yang jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah ybs tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahaun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan.

Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi. Dalam hal KTP yang namanya fiktif, maka tidak mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi nama yang fiktif.

Dalam hal petugas hotel yang menerima KTP palsu untuk dicatat identitasnya, juga tidak mungkin dapat menderita kerugian – termasuk hotelnya, apabila semua persyaratan dan beaya-beaya yang ditentukan telah dipenuhi.

Jadi identitas KTP palsu tidak mungkin berakibat kerugian hotel, selama yang menginap memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan hotel. Sebabnya ialah pembayaran hotel dengan cara apapun tidak dipengaruhi oleh penggunaan KTP tersebut, melainkan didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan seseorang yang menginap dengan harus membayar sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditetapkan hotel. Siapapun yang membayarkannya tidak menjadi masalah. Dalam hal ini tidak ada hubungan antara digunakannya KTP tersebut dengan perhitungan pembayaran jasa hotel?

oleh : H. Adami Chazawi
http://adamichazawi.blogspot.com

Posted in Tak Berkategori | Leave a comment

Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa


A.Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian[1] dan bukan dalam keadaan memaksa.

Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:[2]
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu[3]:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.[4]

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[5]

1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.

B.Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu[6]:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

C.Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).[7]

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:[8]

a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).

Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
D. Keadaan Memaksa (overmach)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:[9]
a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c) Resiko tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif:

Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.

Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.

Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.

Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.

E.Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.[10]

Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.

Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.

Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan.

Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.

link : http://yogiikhwan.wordpress.com

Daftar Pustaka
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Purta Abadin, 1999

[1] Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, hal. 2.21
[2] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), cet. 6, hal.18
[3] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985)
[4] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2005), cet. 36,
hal. 323
[5]Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22
[6] Ibid, hal. 2.22-2.25
[7] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), cet. 32, hal. 148
[8] Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23
[9] R. Setiawan, Op. Cit. 27-28
[10] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, hal. 120-121

Posted in Tak Berkategori | Leave a comment

Menentukan Bunga dan Denda dalam Wanprestasi


Wanprestasi atau perbuatan cidera/ingkar janji (breach of contract) berasal dari bahasa Belanda yang artinya “prestasi” yang buruk dari seorang debitur (atau orang yang berhutang) dalam melaksanakan suatu perjanjian.

Menurut pendapat Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, penerbit PT Intermasa, halaman 45, Wanprestasi (kelalaian/kealpaan) seorang debitur dapat berupa:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Lebih lanjut, masih menurut pendapat Subekti, hukuman bagi debitur yang lalai (wanprestasi) adalah:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
3. Peralihan resiko.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Menjawab pertanyaan yang menanyakan bagaimana menentukan bunga dan denda dalam wanprestasi, jika tidak disepakati sebelumnya dalam suatu perjanjian tersebut, maka sebelumnya kita perlu menyimak ketentuan Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang telah memberikan pengaturan sebagai berikut:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”

Berangkat dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak dalam suatu perjanjian diberikan suatu kebebasan berkontrak untuk menentukan hal-hal atau klausul apa yang hendak diperjanjikan dalam perjanjian tersebut, termasuk untuk menentukan bunga atau denda dalam suatu perjanjian. Namun demikian, perjanjian tersebut tetap harus dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik serta mengindahkan kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang (Vide: Pasal 1338 ayat 3 dan 1339 KUH Perdata)

Mengenai bunga, dalam hal besarnya bunga tidak diatur dalam suatu perjanjian, maka undang-undang yang dimuat Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948 telah menetapkan bunga dari suatu kelalaian/kealpaan (bunga moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari debitur adalah sebesar 6 (enam) % per tahun. Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 1250 KUH Perdata, bunga yang dituntut oleh kreditur tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut.

Mengenai denda yang Anda tanyakan (dalam praktik disebut penalti), maka sesuai dengan apa yang saya uraikan di bagian awal, akibat hukum dari wanprestasi menurut Pasal 1239 KUH Perdata adalah biaya (kosten), rugi (schaden) dan bunga (interesten). Permasalahannya adalah apakah denda yang belum diatur sebelumnya dapat dikualifikasikan sebagai biaya atau rugi.
Dalam hal ini Subekti berpendapat bahwa Biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Sedangkan Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Dari definisi biaya dan rugi menurut Subekti tersebut, jelas bahwa denda yang belum diperjanjikan sebelumnya tidak dapat dikualifisir sebagai biaya dan rugi. Namun demikian, sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa pihak yang dikalahkan akan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Sebagai tambahan informasi, dalam praktik, memang tidak mudah untuk membedakan kualifikasi serta akibat dari Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Secara sederhana, dari segi kualifikasi saya berpendapat bahwa cakupan wanprestasi yang biasanya timbul dari suatu perjanjian adalah lebih sempit dari Perbuatan Melawan Hukum. Sedangkan dari segi akibatnya, suatu Perbuatan Melawan Hukum dapat menerbitkan ganti kerugian secara luas, bukan hanya secara materill namun juga immateriil.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948

Referensi:
Subekti. Hukum Perjanjian. Penerbit PT Intermasa.

Penulis : Albert Aries, S.H., M.H.

Situs : http://www.hukumonline.com dalam rubrik klinik

Posted in Tak Berkategori | Leave a comment